Covid Tak Terkendali APBN Terpojok Apa Jalan Keluarnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 masih belum bisa dikendalikan di dunia, juga di Indonesia. Semenjak adanya mutasi pada virus ini, Indonesia terus mengutak-atik anggaran APBN agar bisa digunakan untuk menangani pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi sekaligus.

Kondisi saat ini, apakah APBN perlu dikhawatirkan atau tidak?

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengungkapkan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diperpanjang sampai dengan 2 Agustus 2021, akan berpengaruh terhadap kinerja APBN ke depannya.


"Di 2023 akan kembali defisit di bawah 3% agak kurang realistis dengan PPKM Darurat ini. Mungkin perlu diwacanakan ditunda, diperpanjang di tahun berikutnya," jelas David kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/2021).

"Paling cepet diperpanjang hingga 2024-2025. Kalau rem mendadak itu khawatir. Dengan diperpanjang ini justru bisa menghindari masalah sosial, karena insentif-insentif pemerintah gak langsung dicabut," kata David melanjutkan.

Pasalnya, kata David di tengah situasi yang tidak menentu saat ini, sementara pemulihan ekonomi paling signifikan tertolong oleh APBN.

Di sisi lain, kata David jika defisit APBN 3% diberlakukan lebih dari tahun 2023, maka akan timbul kekhawatiran dari lembaga rating merevisi ke bawah investment grade atau peringkat investasi dalam negeri.

"Kalau di bawah investment grade, itu akan berpengaruh untuk obligasi di Indonesia, berpengaruh terhadap pasar portofolio. Namun secara outlook, portofolio Indonesia masih cukup baik. Tapi mengingat ekonomi digerakkan konsumsi dan di sisi lain ada persoalan PPKM," jelas David.

David pun menyarankan, kepada pemerintah untuk segera melakukan assessment ulang terhadap Undang-Undang No.2 Tahun 2020 yang menetapkan agar defisit APBN bisa kembali 3% pada 2023.

Pemerintah diharapkan untuk segera melakukan komunikasi dengan DPR dan para lembaga pemeringkat rating seperti S&P Ratings, Moody's, dan lain sebagainya.

"Yang penting komunikasinya, katakan bahwa ini temporer dan tidak permanen. Dalam manajemen fiskal dilakukan secara prudent. Budget deficit semua negara membengkak, mungkin hanya beberapa negara yang berkomitmen. Bahkan Indonesia ditetapkan melalui undang-undang," tuturnya.

"Utang kita juga gak senaik negara lain, apalagi negara maju. Dibandingkan negara berkembang kita lebih moderat. [...] Penting untuk dikomunikasikan ke lembaga rating, meyakinkan lembaga rating kalau ini temporer dan komit untuk bisa kembali ke 3%, karena ini force majeur," kata David melanjutkan.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede. Josua memandang meskipun S&P Ratings sudah memproyeksikan defisit APBN 2021 sebesar 6% karena ada PPKM Darurat, namun jika ditelaah lebih lanjut dari sisi penerimaan pajak tahun ini masih lebih baik dibandingkan tahun lalu.

"Sampai Juni pajak tumbuh dan realisasinya sudah bagus dari targetnya. Jadi risikonya adalah di belanja tambahan perlindungan sosial di dalam PEN. Mestinya tidak akan sejelek dan seburuk S&P bayangkan," jelas Josua.

Kendati demikian, APBN ke depan, kata Josua juga akan sangat berpengaruh. Kondisi saat ini diperparah karena varian delta, sementara ke depan masih dipenuhi ketidakpastian.

"Jadi artinya untuk mengarah defisit APBN 3% di 2023 perlu asesmen ulang dari pemerintah. Selain itu perlu ada komunikasi dengan credit rating agency seperti S&P, Moody's, dan sebagainya," kata Josua melanjutkan.

Ketidakpastian yang masih terus terjadi ini, kata Josua perlu selalu dikomunikasikan kepada lembaga rating dain investor. Toh, pemerintah pun selalu melakukan reformasi struktural, aturan hukum undang-undang cipta kerja sudah sudah mulai berjalan.

Kalau tidak ada komunikasi apa-apa ke lembaga rating, kata Josua konsekuensinya bisa memperburuk pasar keuangan di Indonesia.

"Kalau assessment lembaga rating turun satu notes tidak sampai membuat pasar panik. Sementara kalau di atas satu notes, akan berdampak ke pasar keuangan, bisa ke rupiah, obligasi, saham," jelas Josua.

Kendati demikian, Josua memastikan bahwa jika pasar keuangan Indonesia bergejolak, maka tidak akan separah seperti taper tantrum pada 2013, karena saat ini kepemilikan asing SBN hanya berkisar 22% - 23%. "SBN kita saat ini sudah didominasi domestik. Jadi meskipun bergejolak tidak akan seburuk seperti 2013."

Untuk diketahui, mayoritas investor kembali memburu SBN pada hari Kamis (29/7/2021), ditandai dengan pelemahan imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN. Hanya SBN bertenor 25 tahun tahun yang yield-nya mengalami penguatan dan cenderung dilepas oleh investor.

Yield SBN bertenor 25 tahun kembali naik sebesar 2,1 basis poin (bp) ke level 7,351%. Sedangkan untuk SBN berjatuh tempo 20 tahun cenderung stagnan di level 7,093%.

Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan pemerintah kembali melemah sebesar 0,3 bp ke level 6,306%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga pelemahan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari


[Gambas:Video CNBC]

(mij/mij)

0 Response to "Covid Tak Terkendali APBN Terpojok Apa Jalan Keluarnya"

Post a Comment